Santri lelet Santri lelet
Created by Tri Anirotulhikmah
Di
suatu siang yang teriknya terlihat malu-malu bersembunyi diantara awan-awan
yang menari dan meliuk-liuk diangkasa bertebaran saling berkejaran, sedang
anginpun mengajak daun-daun bergoyang dan mengibarkan setiap kain-kain yang
bergantungan, tak elaknya kain yang terselampir membalut wajah wanita-wanita siswi
Madrasah Tsanawiyah Nurul Iman Gedung Tataan Pesawaran Lampung termasuk juga
diriku Tri Anirotulhikmah yang ikut berhamburan keluar gerbang sekolah hendak
pulang kerumah. Siang itu memang begitu terasa syahdu bagiku, karna terbayang
bagaimana aku akan melanjutkan sekolah ke SMAN 01 GETA favorit yang tak pernah
kusangka aku sudah terdaftar masuk tanpa tes berkat prestasiku yang selalu
menjadi juara umum. Rasanyapun aku sudah tak sabar ingin menyampaikan berita
gembira ini kepada bapak dan ibu dirumah. Aku bergegas menyusuri jalan yang
biasa aku lalui dengan cepat. Sesampainya dirumah, aku menyampaikan hal
tersebut kepada ibu. Tapi begitu mendengar tanggapan dari ibu, aku langsung
tersentak kaget dan dadaku terasa sesak. Betapa tidak, seketika aku ingat
dengan apa yang ibu katakan di 3 tahun silam persis saat aku pun mendapat
kesempatan untuk masuk di SMPN 01 GETA bonavit tanpa tes karna prestasiku di
SD. Semua pilihan-pilihan yang ibu tawarkan membuatku tak berani untuk tetap
bersikukuh mempertahankan pilihanku untuk masuk SMPN 1 bonavit. Tak terasa
buliran air mata menetes begitu saja, aku merasa dipaksa dan merasa ibu adalah
orang yang paling jahat didunia ini, aku merasa bahwa ibu tak pernah mendukungku
sama sekali dan perasaan-perasaan kecewa lainnya timbul silih berganti. Emosiku
membludak tapi aku tak bisa lagi berkata. Sungguh hari itu aku begitu kecewa
pada ibu. Aku berdiam dan mengurung diri dikamar hingga keesokan harinya.
Aku
kembali menemui sore yang kelabu, dimana senja tertutup awan putih tebal sehingga sinarnya terasa redup
dimusim panas ini. Dari hari itu, tak sepatah katapun aku ucapkan kepada
siapapun, sholatpun aku sambil menangis. Ibu masuk ke kamar dan mendekatiku
yang sedang duduk terdiam di atas sajadahku. Ibu pelan-pelan bercerita tentang
masa-masa ibu mondok dulu, ibu juga memberiku beberapa pertanyaan bagaimana pandanganku
soal ayukku yang di pesantren. Ibu membuka kembali cerita-cerita lama disaat
aku ikut ke pesantren untuk mengunjungi ayuk dan saat menghadiri acara-acara
pengajian akbar di pesantren. Ibu juga menggelitikku dengan
pertanyaan-pertanyaan bagaimana perasaanku saat itu setelah aku menuruti apa
yang ibu katakan dengan masuk sekolah di MTs, seperti apa tanggapanku saat ini
tentang MTs, dan apa saja yang sudah dirasakan dan didapatkan dari bersekolah
di MTs. Secara tidak langsung ibu menyadarkanku dengan pengertian dan
penjelasan yang ibu katakan dengan timbal balik pada diriku sendiri tentang perbandingan
sekolah Madrasah dengan sekolah umum serta perbandingan antara pergaulan dan kehidupan
di rumah dengan di pesantren. Air matapun berjatuhan , aku baru menyadari semua
yang ibu lakukan itu adalah benar dan ia selalu berusaha memberikan yang
terbaik untuk semua putrinya.
Seminggu sebelum aku memutuskan untuk mendaftar di
pesantren yang ibu pilihkan, timbul lagi perasaan bahwa mengapa setiap hal yang
aku inginkan selalu menuruti apa yang ibu katakan. Mengapa aku tak dibebaskan
untuk memilih, mengapa aku tak diberikan kesempatan untuk mendapatkan apa yang
aku inginkan, mengapa selalu menuruti ibu, ibu , dan selalu apa kata ibu. Tapi
setidaknya karna aku sudah mau menurut untuk meneruskan ke pesantren, aku
berani menawar untuk pilihan pesantren mana yang aku inginkan. Lagi-lagi aku
kalah, aku ini benar-benar payah. “Keculunanku” itu membuat ibu tak
mempercayaiku untuk bisa memilih sendiri pesantren mana yang akan aku tempati. Karna
menurut ibu pesantrenlah yang akan menggodog kita, bagaimanapun akan menjadi
sungkan jika memakai “teko” oranglain.
Pada
akhirnya, dimana hari aku harus berangkat ke pesantren telah tiba, persiapan
bekal dan perlengkapan telah di “packing” sejak kemarin. Aku, ibu, dan bapak
berangkat ke pesantren di pagi hari yang cerah, secerah wajah teduh ibuku yang
telah memenangkan peperangan dalam perlawanan terhadap pemberontak sepertiku.
Senyumnya yang ku rasa berbeda hari itu seperti senyum sumringah polisi yang
telah berhasil membekuk penjahat yang berusaha melarikan diri dan bersiap
memasukkannya ke “penjara”. Seperti halnya aku.
Setibanya
di pesantren, kami langsung soan ndalem pengasuh Pondok Pesantren yang akan aku
tinggali. Karna itu memang sudah tradisi sebagai bentuk ta’dzim terhadap Kyai
apalagi sebagai alumni agar terus terjalin tali silaturahminya. Bapak dan ibuku
memang sama-sama alumni pondok pesantren Roudhotus Sholihin Purwosari Lampung
Tengah, dulu bapak dan ibu memang tidak satu angkatan dan tidak saling kenal
namun hanya sekedar tahu. Dan Allah mempertemukan mereka kembali saat bapak
sedang pulang mondok dari Jawa dan ibu sedang sekolah menjahit, diacara
pernikahan adik bapak yang ternyata adalah teman mondok ibuku. Ahhh, aku jadi
teringat dengan kisah-kisah yang memang sering ibu ceritakan pada
putri-putrinya.
Setelah proses pendaftaran selesai, akupun langsung
diantar ke komplek pesantren putri dan ditempatkan di kamar yang sudah
ditentukan oleh pihak pengurus. Bapak dan ibupun pamit pulang. Beberapa menit
saat aku sedang membereskan barang-barangku ke dalam kotak lemari, mbak-mbak
pondok senior dikomplekku berdatangan menghampiriku, menanyaiku dan berkenalan.
Dan setiap kali aku melewati mbak-mbak yang aku temui diberbagai tempat yang
aku lalui, mereka tersenyum ramah dan langsung bertanya padaku “Raine mbak Arqi
, njeh ? aku memang belum seberapa tau apa arti bahasa itu karena masih santri
baru, tapi aku bisa mengerti apa maksudnya. Aku hanya senyum-senyum saja setiap
kali ditanya. Mereka memang kenal dengan ayukku karna ayukku juga adalah alumni
dari pesantren ini dan baru dua bulan boyong untuk melanjutkan kuliah setelah
selesai masa pengabdiannya di pesantren.
Masa-masa santri baru adalah masa paling greget di
pesantren. Bagaimana tidak ? karna masa itu adalah masa adaptasi dengan segala
hal yang baru. Mulai dari tempat tinggal, menu makan, mandi, pakaian, sampai pada
kebiasaan-kebiasaan dirumah yang sulit untuk ditinggalkan. Ada rasa-rasa tidak
betah dan ingin pulang, ada rasa sungkan dan tak enak hati dengan teman, ada
rasa yang memaksa agar tetap kuat dan rasa-rasa lainnya tak ubahnya permen nano-nano.
Apalagi disaat hati sedang tidak bahagia, tarhim adzan subuhpun dikesunyian
membuat trenyuh jiwa-jiwa yang sedang merindu, sedang ia bimbang harus pada
siapakah ia lepaskan rindunya saat itu, semakin diperdengarkan , semakin luluh
lantak dengan alunan kalimat-kalimat tarhim yang menggugah setiap jiwa yang bimbang
itu, hingga tersadarkan bahwa pelepas rindu hanyalah Allah semata. Seketika
lelehan airmata membasahi jilbabku untuk menyeka, dan diikuti oleh isak tangis
santri lainnya, tapi mengapa begitu dekat suara isak itu? dan semakin ramai?
Seketika aku menoleh kebelakangku, aku yang duduk dipintu tangga paling atas
telah menghalangi mereka yang akan turun kebawah untuk wudhu, tapi ternyata merekapun
merasakan hal yang sama denganku. Dengan berjalannya waktu, aku pun
sedikit-sedikit bisa menyesuaikan diri dan ikhlas menjalaninya.
Pagi
cerah menyambutku dengan desir irama semilirnya angin yang menyentuh kulit
dengan lembut, membawa kesejukan jiwaku yang berada di antara para santri baru
maupun santri “lawas” yang berjalan beriringan sembari mengobrol dan bercanda,
sesekali terdengar tawa kecil mereka yang merasa lucu dengan tanggapan temannya
yang sudah akrab, sedang aku bersama santri baru lainnya masih “sepi” dan
canggung satu sama lain, bahkan ada beberapa yang mungkin baru sempat
berkenalan sambil berjalan bersamaan menuju Madrasah Aliyah yang masih satu
yayasan dengan Pesantren. Hari ini pertama kalinya aku masuk keruang kelas
namun bukan untuk belajar, melainkan tes masuk jurusan yang sudah dipilih
ketika mendaftar. Di hari-hari sebelumnya aku memang tidak terlalu sibuk atau
rajin untuk belajar agar bisa lulus tes. Karna aku merasa bahwa aku sudah cukup
tau untuk bisa mengerjakan tes dengan bekal juara umumku di MTs dan madrasah
diniyah TPQ dari rumah. Sepengetahuanku
waktu itu, jurusan IAI(Ilmu Agama Islam) adalah jurusan yang lebih banyak
mempelajari dan mendalami di bidang Agama Islam seperti halnya di MTs, juga
menjadi jurusan unggulan di MA Raudhatul Huda Purwosari pesantrenku. Selain
unggulan di sekolah, santri yang bisa masuk jurusan IAI maka di kelas 2 Aliyah bisa
menempati komplek “pilihan” yang khusus disediakan untuk jurusan IAI di
pesantren. Jadi tak ayal kalau jurusan IAI menjadi “idaman” para santri yang
baru maupun yang sudah “lawas” untuk melanjutkan. Tapi sungguh berbeda dengan
apa yang aku bayangkan dan fikirkan selama ini, begitu aku melihat soal tes
yang pertama, seketika aku terhenyak, tubuhku lemas, tanganku bergetaran dan
jantungku berdebar tak beraturan. Aku melongo dan terpana oleh barisan-barisan
soal yang ada di hadapanku. Sungguh, tak satupun soal yang mampu
ku jawab dengan benar dan percaya diri sepenuhnya. Untuk pertama kalinya
aku menemui hal dimana aku tak bisa menjawab soal seperti halnya aku yang
selalu bisa menjawab soal ulangan dengan percaya diri dan yakin akan kebenaran
jawabannya. Aku benar-benar merasa sangat bodoh saat itu,, aku kembali teringat
dengan penolakanku untuk melanjutkan ke pesantren hanya karna memilih sekolah
favorit dengan prestasiku, sedang aku tak ada apa-apanya dibandingkan dengan
soal tes itu. Panas terik siang itu seolah terasa membakar jiwa dan raga,
membuat setiap tulang dan persendian melepuh dan melelehkan hatiku tentang
betapa tak ada apa-apanya ilmu duniaku jika dibandingkan dengan ilmu agama di
Pesantren.
Tes belum usai, esoknya adalah jadwal tes lisan. Kami
duduk menanti giliran sesuai dengan nomor urut
tes. Tibalah giliranku maju untuk menjawab tes nya. Belum sempat
terfikir olehku apa yang akan di tanyakan oleh bapak guru yang baru pertamakali
kulihat dihadapanku, aku terhentak oleh pertanyaan yang seketika di ucapkan oleh
pak guru itu, spontan aku hampir saja melompat karna sangking kagetnya. Bukan
karna apa-apa, pak guru itu bertanya
layaknya benar-benar orang arab, tubuhnya yang tinggi besar, kumisnya yang
panjang dan sedikit tebal, wajahnya yang sedikit hirostik “menurutku” ditambah
dengan suara lantang dan tegas itu membuatku tak bisa berkata-kata, aku
“nerves”. Pertanyaan tes “Man ismuk?” bak “Man robbuk?” oleh malaikat munkar
nakir yang menggelegar di jiwa. Dan parahnya pak guru mengulangi pertanyaanya
sebanyak 3 kali kalau aku tidak salah hitung. Serta merta membuatku “bego”
seketika itu dibanding dengan aku yang selalu di”bangga-bangga”kan oleh guru
bahasa arab di MTs dulu.
Pada akhirnya hari yang “menahun” rasanya bagiku itu
terlewati juga, kegiatan di Pesantren telah resmi “diaktifkan” kembali setelah
libur panjang dan penerimaan santri baru. Aku menemui banyak hal yang
asing , sorogan Al-qur’an selepas ba’da maghrib ini membuatku harus mengulagi
bacaan ta’awudz puluhan kali, bahkan hanya di kalimat awalnya saja “ ‘Audzu”, sama
halnya dengan teman-teman sekelompokku yang di ajar oleh mbak pengurus senior.
Aku kira selama ini aku sudah benar membacanya setelah aku pernah khataman
Alqur’an di TPQ 5 tahun silam dan pernah beberapa kali juara lomba tahfidz juz
amma dulu, ternyata masih banyak yang
belum benar terutama makhroj dan tajwidnya. Dilanjutkan dengan sorogan kitab
ba’da subuh membuatku seolah mengawali hari layaknya kopi yang baru saja
dituang air panas dan diaduk-aduk berkali-kali padahal tanpa gula. Yahh,
begitulah aku memulai hari dimana harus mengulang “lagi” puluhan kali hanya
untuk kalimat makna “Bismillahi” dengan bahasa jawa kromo inggil “ngawiti ngaji
ingsun ….dst” . Dengan kepayahan yang aku alami justru membuatku penasaran
apalagi jika dipertemuan mengaji selanjutnya teman sekelompokku sudah ada yang
bisa dan di “luluskan” oleh mbak penyorog , hmmm jadi tambah greged. Semua hal
itu membuatku semakin semangat dan rajin belajar, meskipun teman-temanku tak
ada yang mengajak berkompetisi atau yang “memanas-manasi” karna dia telah lebih
bisa, secara otomatis aku termotivasi untuk bisa mengejar agar tetap “sama” bisa
seperti mereka, begitu juga dengan mereka, yang akhirnya membuat kami saling
“berkejar-kejaran” dalam meraih taqwa. Ditambah aku memang merasa bahwa
ke”lelet”an ku selama ini membuatku “terseok-seok” sendiri dengan padatnya jadwal
kegiatan di pesantren dan di MA. Tipeku yang “pendiam” dan lebih suka
“ngalahan” menjadikan aku bola yang tersenggol sedikit saja bisa menggelinding.
Dimana-mana aku selalu begitu dalam setiap hal, apalagi seperti antri ambil kos
makan , tempat mandi dan wudhu, membuatku kadang hampir terlambat, agak
terlambat, terlambat, sangat terlambat
dan sangking terlambatnya sampai-sampai kegiatan sudah mau bubar bahkan jamaah
sholat sudah salam aku baru datang, hingga tertanam motto “terlambat lebih baik
daripada mbolos”, meski sangking malunya kalau sampai dita’zir karna memang
terpaksa harus terlambat ketika bandungan pagi agak “molor” dan aku belum
mandi. Begitu “kenteng” no 1 peringatan berangkat
sekolah berbunyi sedang aku baru saja selesai mandi, seketika teringat ini hari
senin. Segera saja aku bergegas berganti pakaian seragam sekolah dan bersiap
memakai sepatu dan barusaja ingat kalau tali sepatupun belum dipasang, belum
juga aku memasang tali sepatu, “kenteng” ke 2 yang hanya berjarak 5 menit
dengan kenteng sebelumnya itu terdegar lebih jelas, terburu-buru aku
memasangnya, sedang teman-teman yang lainpun hiruk pikuk bak “ prepegan” pasar
yang sibuk dengan persiapan masing-masing, dan baru saja aku selesai
menggunakan 1 sepatu, “kenteng” ke 3 mengagetkanku, tanpa basa-basi sepatu satunya aku tenteng dan
kabuuuuuuurrr !! sambil “ingklik” setengah berlarian agar tidak tertangkap mbak senior yang
“kolling” ke seluruh komplek. Bagaimanapun, karna
aku lelet jadi tertangkap juga dan masuk daftar ta’zir. Tak hanya itu, karna
sangking antrinya mandi dan kebetulan hari itu jadwal ku “nyuci” membuatku
ketinggalan jamaah sholat. Terdengar dari kamar, aku kira masih “Amiin” rokaat
ke 2 karna suara lembut bu Nyai yang terkadang tak terdengar hingga luar
mushola, begitu sampai di pintu mushola yang penuh dengan jamaah santri putri
lainnya, ternyata sudah “Amiin” bacaan Do’a, aku baru tersadar bahwa ini waktu
ashar. Karna aku tidak mau dan jangan
sampai dita’zir lagi karna ke”lelet”an ku ini, hingga aku terinspirasi dengan
gaya “temanku” 1 ini. Terkadang aku juga merasa heran dengannya, karna setiap
kali bareng antri mandi, dia selalu saja selesai duluan padahal aku datang
lebih dulu. Terkadang aku sudah hampir selesai mandi dan dia baru saja mulai ,
tapi “kok” selesainya bareng dan bahkan dia “cabut” duluan dari tempat mandi. Atau
teman-teman yang lain, mengapa mereka bisa begitu “lihai” dalam menjalankan
misi “anti ta’zir” nya itu, anehnya jika sekilas mereka terlihat santai, biasa
saja dan tidak terburu-buru, sedangkan aku ? Baiklah, jika begitu untuk
melancarkan aksiku agar bisa terhindar dari keterlambatan lagi akupun
menjalankan misi dan berusaha sekuat jiwaraga agar bisa “kilat” juga seperti
mereka. Tapi tanpa ku sadari, misi yang sertamerta aku jalani membuat otot-ototku tersentak , badanku kaku
dan fikiran tegang. Benar saja ketika aku mulai menjalankan misi pertama saat
jadwal “nyuci” ku agar terhindar dari serbuan santri lain yang bisa mendahului,
dengan membawa seember cucian dan peralatan mandi, aku bergegas cepat dan
berjalan kilat menuju tempat mandi, aku berusaha melewati dan mendahului siapapun
santri yang bertujuan sama. Untuk sampai ke tempat mandi, akupun harus melewati
tangga turun kebawah yang sudah hijau dengan semen yang berlubang, sedang kanan
kirinya banyak rerumputan yang hampir setinggi lututku. Karna misi yang
berambisi ini, pun mendorongku untuk bisa juga melewati 3 teman yang sudah ada
di bawah tangga tepat didepanku demi mendapatkan tempat nyuci dan mandi tanpa
antri, aku terburu melangkah lebih cepat, entah apa yang ada difikiranku
tiba-tiba saja melayang sampai menuruni tangga, emberku terguling tumpah
berhamburan, aku terjengkang dan berakhir “nyungsep” di antara tingginya
rerumputan. Sontak ke 3 teman yang ada di depanku tadi menoleh dan berlari
menolongku, tapi baru saja mereka mengulurkan tangan untuk mengangkatku yang nyungep
terbalik dengan kepala dibawah kaki diatas, mereka tertawa terpingkal-pingkal,
dan mungkin sangking lucunya bagi mereka karna susahnya mengangkat kepalaku
yang sudah kadung nyungsep tengkurap itu membuat mereka tak kuat mengangkatnya,
dan lagi mereka terpingkal-pingkal kasihan melihat aku yang seperti itu. Jelas
saja mereka tak mampu mengangkat padahal ber 3, karna kekuatan yang sudah
terforsir untuk menertawakan kecelakaan itu. Setelah beberapa menit dan mereka
berusaha berulang-ulang untuk mengangkat kembali dan berusaha menenangkan diri,
kini dengan tawa tertahan mereka bisa mengangkat dan menolongku berdiri.
Sungguh “kejam” hidup ini. Tetap saja aku tidak kapok dengan peristiwa
kecelakaan itu dan peristiwa-peristiwa lain yang membuatku semakin kuat, kilat
dan tangguh. Akupun benar-benar menyadari bahwa hal berharga apapun yang pernah
aku dapatkan tidak pernah aku temui selain di pesantren.
Tak terasa hampir setahun aku telah melewati masa santri
baru. Dengan “tragedi” yang telah aku alami pada masa tes, tentu saja membuatku
tidak lulus masuk jurusan IAI. Dan aku harus memutuskan apakah aku pindah
jurusan tanpa tes dan langsung masuk kelas 1 MA atau masuk kelas isti’dad
(kelas persiapan) dulu selama 1 tahun agar bisa masuk jurusan IAI tanpa tes
tahun depan ? Setelah aku mengabari bapak dan ibu yang ternyata membuat mereka
kaget itu, dengan beberapa pertimbangan akhirnya aku tertantang untuk memilih
masuk kelas isti’dad meski dengan konsekuensi yang berat. Adikku, Fitri yang
sekarang sudah lulus MTs pun kini melanjutkan ke Pesantren bersamaku. Tentunya
adikku akan masuk kelas 1 MA dan aku juga baru mau naik kelas 1 MA. Kemungkinan
terburuk dalam anganku adalah aku bisa saja1 kelas dengan adikku, 1 kelas ???
“na’udzubillah.. “
Didunia ini kita hidup dengan takdir Allah SWT. Segala
ketetapannya tak mungkin ada yang mampu menghalangi dan segala kerahasiaannya
tak mungkin ada yang mengetahui. Begitulah hidup yang sedetik kedepan pun tak
pernah kita ketahui apa yang akan terjadi dan bagaimana melaluinya. Begitupun
dengan segurat kekhawatiranku waktu itupun terjadi, tak menyangka sama sekali
bahwa adikku bisa lulus tes masuk jurusan IAI, sedang ketika mendaftar ia
memilih jurusan lainnya juga dan dia hanya coba-coba ikut tes “siapatau” bisa
lulus. Tapi ya mau bagaimana lagi, semua yang terjadi harus diterima dengan
ikhlas dan tawakkal. Pada akhirnya kami berdua tak hanya 1 kelas, tapi juga 1
bangku, 1 team, 1 buku panduan dan 1 julukan yaitu “tukang ngantuk”. Karna kami
berdua memang sering ketahuan ngantuk dikelas secara bersamaan dan beriringan
hingga ber”saut-sautan”. Dan parahnya kami ber 2 selama 3 tahun di MA duduk di
bagian paling depan, pas depan meja guru dan terus selalu seperti itu hingga
lulus. Kami benar-benar menjadi “pasangan” ngantuk sejati selama Aliyah,
meskipun sebelumnya kami ber 2 adalah sepasang “Tom & Jarry” di rumah.
BIODATA
Nama :
Tri Anirotulhikmah
Akun sosmed : IG @trianirotulhikmah LINE
@anirotulhikmahtri TWITT @aniHIKMAH
Email :
anirotulhikmahtri@gmail.com
No Hp :
085772748620