Minggu, 26 Februari 2017

CERPEN



IMG_20150408_054633.JPGChibi-Wanita-Muslimah-HD-oleh-Taj92.pngSANTRI LELET
   Santri lelet Santri lelet
Created by Tri Anirotulhikmah



            Di suatu siang yang teriknya terlihat malu-malu bersembunyi diantara awan-awan yang menari dan meliuk-liuk diangkasa bertebaran saling berkejaran, sedang anginpun mengajak daun-daun bergoyang dan mengibarkan setiap kain-kain yang bergantungan, tak elaknya kain yang terselampir membalut wajah wanita-wanita siswi Madrasah Tsanawiyah Nurul Iman Gedung Tataan Pesawaran Lampung termasuk juga diriku Tri Anirotulhikmah yang ikut berhamburan keluar gerbang sekolah hendak pulang kerumah. Siang itu memang begitu terasa syahdu bagiku, karna terbayang bagaimana aku akan melanjutkan sekolah ke SMAN 01 GETA favorit yang tak pernah kusangka aku sudah terdaftar masuk tanpa tes berkat prestasiku yang selalu menjadi juara umum. Rasanyapun aku sudah tak sabar ingin menyampaikan berita gembira ini kepada bapak dan ibu dirumah. Aku bergegas menyusuri jalan yang biasa aku lalui dengan cepat. Sesampainya dirumah, aku menyampaikan hal tersebut kepada ibu. Tapi begitu mendengar tanggapan dari ibu, aku langsung tersentak kaget dan dadaku terasa sesak. Betapa tidak, seketika aku ingat dengan apa yang ibu katakan di 3 tahun silam persis saat aku pun mendapat kesempatan untuk masuk di SMPN 01 GETA bonavit tanpa tes karna prestasiku di SD. Semua pilihan-pilihan yang ibu tawarkan membuatku tak berani untuk tetap bersikukuh mempertahankan pilihanku untuk masuk SMPN 1 bonavit. Tak terasa buliran air mata menetes begitu saja, aku merasa dipaksa dan merasa ibu adalah orang yang paling jahat didunia ini, aku merasa bahwa ibu tak pernah mendukungku sama sekali dan perasaan-perasaan kecewa lainnya timbul silih berganti. Emosiku membludak tapi aku tak bisa lagi berkata. Sungguh hari itu aku begitu kecewa pada ibu. Aku berdiam dan mengurung diri dikamar hingga keesokan harinya.
m22.png            Aku kembali menemui sore yang kelabu, dimana senja tertutup awan  putih tebal sehingga sinarnya terasa redup dimusim panas ini. Dari hari itu, tak sepatah katapun aku ucapkan kepada siapapun, sholatpun aku sambil menangis. Ibu masuk ke kamar dan mendekatiku yang sedang duduk terdiam di atas sajadahku. Ibu pelan-pelan bercerita tentang masa-masa ibu mondok dulu, ibu juga memberiku beberapa pertanyaan bagaimana pandanganku soal ayukku yang di pesantren. Ibu membuka kembali cerita-cerita lama disaat aku ikut ke pesantren untuk mengunjungi ayuk dan saat menghadiri acara-acara pengajian akbar di pesantren. Ibu juga menggelitikku dengan pertanyaan-pertanyaan bagaimana perasaanku saat itu setelah aku menuruti apa yang ibu katakan dengan masuk sekolah di MTs, seperti apa tanggapanku saat ini tentang MTs, dan apa saja yang sudah dirasakan dan didapatkan dari bersekolah di MTs. Secara tidak langsung ibu menyadarkanku dengan pengertian dan penjelasan yang ibu katakan dengan timbal balik pada diriku sendiri tentang perbandingan sekolah Madrasah dengan sekolah umum serta perbandingan antara pergaulan dan kehidupan di rumah dengan di pesantren. Air matapun berjatuhan , aku baru menyadari semua yang ibu lakukan itu adalah benar dan ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk semua putrinya.
Chibi-Muslimah-Sedih-Menangis-Sad.pngRiAREyRKT.png           Seminggu sebelum aku memutuskan untuk mendaftar di pesantren yang ibu pilihkan, timbul lagi perasaan bahwa mengapa setiap hal yang aku inginkan selalu menuruti apa yang ibu katakan. Mengapa aku tak dibebaskan untuk memilih, mengapa aku tak diberikan kesempatan untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, mengapa selalu menuruti ibu, ibu , dan selalu apa kata ibu. Tapi setidaknya karna aku sudah mau menurut untuk meneruskan ke pesantren, aku berani menawar untuk pilihan pesantren mana yang aku inginkan. Lagi-lagi aku kalah, aku ini benar-benar payah. “Keculunanku” itu membuat ibu tak mempercayaiku untuk bisa memilih sendiri pesantren mana yang akan aku tempati. Karna menurut ibu pesantrenlah yang akan menggodog kita, bagaimanapun akan menjadi sungkan jika memakai “teko” oranglain.
            Pada akhirnya, dimana hari aku harus berangkat ke pesantren telah tiba, persiapan bekal dan perlengkapan telah di “packing” sejak kemarin. Aku, ibu, dan bapak berangkat ke pesantren di pagi hari yang cerah, secerah wajah teduh ibuku yang telah memenangkan peperangan dalam perlawanan terhadap pemberontak sepertiku. Senyumnya yang ku rasa berbeda hari itu seperti senyum sumringah polisi yang telah berhasil membekuk penjahat yang berusaha melarikan diri dan bersiap memasukkannya ke “penjara”. Seperti halnya aku.
            Setibanya di pesantren, kami langsung soan ndalem pengasuh Pondok Pesantren yang akan aku tinggali. Karna itu memang sudah tradisi sebagai bentuk ta’dzim terhadap Kyai apalagi sebagai alumni agar terus terjalin tali silaturahminya. Bapak dan ibuku memang sama-sama alumni pondok pesantren Roudhotus Sholihin Purwosari Lampung Tengah, dulu bapak dan ibu memang tidak satu angkatan dan tidak saling kenal namun hanya sekedar tahu. Dan Allah mempertemukan mereka kembali saat bapak sedang pulang mondok dari Jawa dan ibu sedang sekolah menjahit, diacara pernikahan adik bapak yang ternyata adalah teman mondok ibuku. Ahhh, aku jadi teringat dengan kisah-kisah yang memang sering ibu ceritakan pada putri-putrinya.
images.jpg            Setelah proses pendaftaran selesai, akupun langsung diantar ke komplek pesantren putri dan ditempatkan di kamar yang sudah ditentukan oleh pihak pengurus. Bapak dan ibupun pamit pulang. Beberapa menit saat aku sedang membereskan barang-barangku ke dalam kotak lemari, mbak-mbak pondok senior dikomplekku berdatangan menghampiriku, menanyaiku dan berkenalan. Dan setiap kali aku melewati mbak-mbak yang aku temui diberbagai tempat yang aku lalui, mereka tersenyum ramah dan langsung bertanya padaku “Raine mbak Arqi , njeh ? aku memang belum seberapa tau apa arti bahasa itu karena masih santri baru, tapi aku bisa mengerti apa maksudnya. Aku hanya senyum-senyum saja setiap kali ditanya. Mereka memang kenal dengan ayukku karna ayukku juga adalah alumni dari pesantren ini dan baru dua bulan boyong untuk melanjutkan kuliah setelah selesai masa pengabdiannya di pesantren.
duduk-kosongcolour.png            Masa-masa santri baru adalah masa paling greget di pesantren. Bagaimana tidak ? karna masa itu adalah masa adaptasi dengan segala hal yang baru. Mulai dari tempat tinggal, menu makan, mandi, pakaian, sampai pada kebiasaan-kebiasaan dirumah yang sulit untuk ditinggalkan. Ada rasa-rasa tidak betah dan ingin pulang, ada rasa sungkan dan tak enak hati dengan teman, ada rasa yang memaksa agar tetap kuat dan rasa-rasa lainnya tak ubahnya permen nano-nano. Apalagi disaat hati sedang tidak bahagia, tarhim adzan subuhpun dikesunyian membuat trenyuh jiwa-jiwa yang sedang merindu, sedang ia bimbang harus pada siapakah ia lepaskan rindunya saat itu, semakin diperdengarkan , semakin luluh lantak dengan alunan kalimat-kalimat tarhim yang menggugah setiap jiwa yang bimbang itu, hingga tersadarkan bahwa pelepas rindu hanyalah Allah semata. Seketika lelehan airmata membasahi jilbabku untuk menyeka, dan diikuti oleh isak tangis santri lainnya, tapi mengapa begitu dekat suara isak itu? dan semakin ramai? Seketika aku menoleh kebelakangku, aku yang duduk dipintu tangga paling atas telah menghalangi mereka yang akan turun kebawah untuk wudhu, tapi ternyata merekapun merasakan hal yang sama denganku. Dengan berjalannya waktu, aku pun sedikit-sedikit bisa menyesuaikan diri dan ikhlas menjalaninya.
            Pagi cerah menyambutku dengan desir irama semilirnya angin yang menyentuh kulit dengan lembut, membawa kesejukan jiwaku yang berada di antara para santri baru maupun santri “lawas” yang berjalan beriringan sembari mengobrol dan bercanda, sesekali terdengar tawa kecil mereka yang merasa lucu dengan tanggapan temannya yang sudah akrab, sedang aku bersama santri baru lainnya masih “sepi” dan canggung satu sama lain, bahkan ada beberapa yang mungkin baru sempat berkenalan sambil berjalan bersamaan menuju Madrasah Aliyah yang masih satu yayasan dengan Pesantren. Hari ini pertama kalinya aku masuk keruang kelas namun bukan untuk belajar, melainkan tes masuk jurusan yang sudah dipilih ketika mendaftar. Di hari-hari sebelumnya aku memang tidak terlalu sibuk atau rajin untuk belajar agar bisa lulus tes. Karna aku merasa bahwa aku sudah cukup tau untuk bisa mengerjakan tes dengan bekal juara umumku di MTs dan madrasah diniyah  TPQ dari rumah. Sepengetahuanku waktu itu, jurusan IAI(Ilmu Agama Islam) adalah jurusan yang lebih banyak mempelajari dan mendalami di bidang Agama Islam seperti halnya di MTs, juga menjadi jurusan unggulan di MA Raudhatul Huda Purwosari pesantrenku. Selain unggulan di sekolah, santri yang bisa masuk jurusan IAI maka di kelas 2 Aliyah bisa menempati komplek “pilihan” yang khusus disediakan untuk jurusan IAI di pesantren. Jadi tak ayal kalau jurusan IAI menjadi “idaman” para santri yang baru maupun yang sudah “lawas” untuk melanjutkan. Tapi sungguh berbeda dengan apa yang aku bayangkan dan fikirkan selama ini, begitu aku melihat soal tes yang pertama, seketika aku terhenyak, tubuhku lemas, tanganku bergetaran dan jantungku berdebar tak beraturan. Aku melongo dan terpana oleh barisan-barisan soal yang ada di hadapanku. Sungguh, tak satupun soal yang  mampu  ku jawab dengan benar dan percaya diri sepenuhnya. Untuk pertama kalinya aku menemui hal dimana aku tak bisa menjawab soal seperti halnya aku yang selalu bisa menjawab soal ulangan dengan percaya diri dan yakin akan kebenaran jawabannya. Aku benar-benar merasa sangat bodoh saat itu,, aku kembali teringat dengan penolakanku untuk melanjutkan ke pesantren hanya karna memilih sekolah favorit dengan prestasiku, sedang aku tak ada apa-apanya dibandingkan dengan soal tes itu. Panas terik siang itu seolah terasa membakar jiwa dan raga, membuat setiap tulang dan persendian melepuh dan melelehkan hatiku tentang betapa tak ada apa-apanya ilmu duniaku jika dibandingkan dengan ilmu agama di Pesantren.
m.png52ec757f02663c325a8b76f69129c4fe.jpg            Tes belum usai, esoknya adalah jadwal tes lisan. Kami duduk menanti giliran sesuai dengan nomor urut  tes. Tibalah giliranku maju untuk menjawab tes nya. Belum sempat terfikir olehku apa yang akan di tanyakan oleh bapak guru yang baru pertamakali kulihat dihadapanku, aku terhentak oleh pertanyaan yang seketika di ucapkan oleh pak guru itu, spontan aku hampir saja melompat karna sangking kagetnya. Bukan karna apa-apa, pak  guru itu bertanya layaknya benar-benar orang arab, tubuhnya yang tinggi besar, kumisnya yang panjang dan sedikit tebal, wajahnya yang sedikit hirostik “menurutku” ditambah dengan suara lantang dan tegas itu membuatku tak bisa berkata-kata, aku “nerves”. Pertanyaan tes “Man ismuk?” bak “Man robbuk?” oleh malaikat munkar nakir yang menggelegar di jiwa. Dan parahnya pak guru mengulangi pertanyaanya sebanyak 3 kali kalau aku tidak salah hitung. Serta merta membuatku “bego” seketika itu dibanding dengan aku yang selalu di”bangga-bangga”kan oleh guru bahasa arab di MTs dulu.
Muslimah.png            Pada akhirnya hari yang “menahun” rasanya bagiku itu terlewati juga, kegiatan di Pesantren telah resmi “diaktifkan” kembali setelah libur panjang dan penerimaan santri baru. Gambar Kartun Muslimah Tersenyum.jpgAku menemui banyak hal yang asing , sorogan Al-qur’an selepas ba’da maghrib ini membuatku harus mengulagi bacaan ta’awudz puluhan kali, bahkan hanya di kalimat awalnya saja “ ‘Audzu”, sama halnya dengan teman-teman sekelompokku yang di ajar oleh mbak pengurus senior. Aku kira selama ini aku sudah benar membacanya setelah aku pernah khataman Alqur’an di TPQ 5 tahun silam dan pernah beberapa kali juara lomba tahfidz juz amma dulu, ternyata masih banyak  yang belum benar terutama makhroj dan tajwidnya. Dilanjutkan dengan sorogan kitab ba’da subuh membuatku seolah mengawali hari layaknya kopi yang baru saja dituang air panas dan diaduk-aduk berkali-kali padahal tanpa gula. Yahh, begitulah aku memulai hari dimana harus mengulang “lagi” puluhan kali hanya untuk kalimat makna “Bismillahi” dengan bahasa jawa kromo inggil “ngawiti ngaji ingsun ….dst” . Dengan kepayahan yang aku alami justru membuatku penasaran apalagi jika dipertemuan mengaji selanjutnya teman sekelompokku sudah ada yang bisa dan di “luluskan” oleh mbak penyorog , hmmm jadi tambah greged. Semua hal itu membuatku semakin semangat dan rajin belajar, meskipun teman-temanku tak ada yang mengajak berkompetisi atau yang “memanas-manasi” karna dia telah lebih bisa, secara otomatis aku termotivasi untuk bisa mengejar agar tetap “sama” bisa seperti mereka, begitu juga dengan mereka, yang akhirnya membuat kami saling “berkejar-kejaran” dalam meraih taqwa. Ditambah aku memang merasa bahwa ke”lelet”an ku selama ini membuatku “terseok-seok” sendiri dengan padatnya jadwal kegiatan di pesantren dan di MA. Tipeku yang “pendiam” dan lebih suka “ngalahan” menjadikan aku bola yang tersenggol sedikit saja bisa menggelinding. Dimana-mana aku selalu begitu dalam setiap hal, apalagi seperti antri ambil kos makan , tempat mandi dan wudhu, membuatku kadang hampir terlambat, agak terlambat, terlambat,  sangat terlambat dan sangking terlambatnya sampai-sampai kegiatan sudah mau bubar bahkan jamaah sholat sudah salam aku baru datang, hingga tertanam motto “terlambat lebih baik daripada mbolos”, meski sangking malunya kalau sampai dita’zir karna memang terpaksa harus terlambat ketika bandungan pagi agak “molor” dan aku belum mandi. Begitu “kenteng” no 1 peringatan  berangkat sekolah berbunyi sedang aku baru saja selesai mandi, seketika teringat ini hari senin. Segera saja aku bergegas berganti pakaian seragam sekolah dan bersiap memakai sepatu dan barusaja ingat kalau tali sepatupun belum dipasang, belum juga aku memasang tali sepatu, “kenteng” ke 2 yang hanya berjarak 5 menit dengan kenteng sebelumnya itu terdegar lebih jelas, terburu-buru aku memasangnya, sedang teman-teman yang lainpun hiruk pikuk bak “ prepegan” pasar yang sibuk dengan persiapan masing-masing, dan baru saja aku selesai menggunakan 1 sepatu, “kenteng” ke 3 Cartoon Islam Doodle Muslimah Pink.pngmengagetkanku,  tanpa basa-basi sepatu satunya aku tenteng dan kabuuuuuuurrr !! sambil “ingklik” setengah berlarian  agar tidak tertangkap mbak senior yang “kolling” ke seluruh bju kurung merah.pngkomplek. Bagaimanapun, karna aku lelet jadi tertangkap juga dan masuk daftar ta’zir. Tak hanya itu, karna sangking antrinya mandi dan kebetulan hari itu jadwal ku “nyuci” membuatku ketinggalan jamaah sholat. Terdengar dari kamar, aku kira masih “Amiin” rokaat ke 2 karna suara lembut bu Nyai yang terkadang tak terdengar hingga luar mushola, begitu sampai di pintu mushola yang penuh dengan jamaah santri putri lainnya, ternyata sudah “Amiin” bacaan Do’a, aku baru tersadar bahwa ini waktu ashar.  Karna aku tidak mau dan jangan sampai dita’zir lagi karna ke”lelet”an ku ini, hingga aku terinspirasi dengan gaya “temanku” 1 ini. Terkadang aku juga merasa heran dengannya, karna setiap kali bareng antri mandi, dia selalu saja selesai duluan padahal aku datang lebih dulu. Terkadang aku sudah hampir selesai mandi dan dia baru saja mulai , tapi “kok” selesainya bareng dan bahkan dia “cabut” duluan dari tempat mandi. Atau teman-teman yang lain, mengapa mereka bisa begitu “lihai” dalam menjalankan misi “anti ta’zir” nya itu, anehnya jika sekilas mereka terlihat santai, biasa saja dan tidak terburu-buru, sedangkan aku ? Baiklah, jika begitu untuk melancarkan aksiku agar bisa terhindar dari keterlambatan lagi akupun menjalankan misi dan berusaha sekuat jiwaraga agar bisa “kilat” juga seperti mereka. Tapi tanpa ku sadari, misi yang sertamerta aku jalani  membuat otot-ototku tersentak , badanku kaku dan fikiran tegang. Benar saja ketika aku mulai menjalankan misi pertama saat jadwal “nyuci” ku agar terhindar dari serbuan santri lain yang bisa mendahului, dengan membawa seember cucian dan peralatan mandi, aku bergegas cepat dan berjalan kilat menuju tempat mandi, aku berusaha melewati dan mendahului siapapun santri yang bertujuan sama. Untuk sampai ke tempat mandi, akupun harus melewati tangga turun kebawah yang sudah hijau dengan semen yang berlubang, sedang kanan kirinya banyak rerumputan yang hampir setinggi lututku. Karna misi yang berambisi ini, pun mendorongku untuk bisa juga melewati 3 teman yang sudah ada di bawah tangga tepat didepanku demi mendapatkan tempat nyuci dan mandi tanpa antri, aku terburu melangkah lebih cepat, entah apa yang ada difikiranku tiba-tiba saja melayang sampai menuruni tangga, emberku terguling tumpah berhamburan, aku terjengkang dan berakhir “nyungsep” di antara tingginya rerumputan. Sontak ke 3 teman yang ada di depanku tadi menoleh dan berlari menolongku, tapi baru saja mereka mengulurkan tangan untuk images.pngmengangkatku yang nyungep terbalik dengan kepala dibawah kaki diatas, mereka tertawa terpingkal-pingkal, dan mungkin sangking lucunya bagi mereka karna susahnya mengangkat kepalaku yang sudah kadung nyungsep tengkurap itu membuat mereka tak kuat mengangkatnya, dan lagi mereka terpingkal-pingkal kasihan melihat aku yang seperti itu. Jelas saja mereka tak mampu mengangkat padahal ber 3, karna kekuatan yang sudah terforsir untuk menertawakan kecelakaan itu. Setelah beberapa menit dan mereka berusaha berulang-ulang untuk mengangkat kembali dan berusaha menenangkan diri, kini dengan tawa tertahan mereka bisa mengangkat dan menolongku berdiri. Sungguh “kejam” hidup ini. Tetap saja aku tidak kapok dengan peristiwa kecelakaan itu dan peristiwa-peristiwa lain yang membuatku semakin kuat, kilat dan tangguh. Akupun benar-benar menyadari bahwa hal berharga apapun yang pernah aku dapatkan tidak pernah aku temui selain di pesantren.
gambar-kartun-muslimah.jpgsegmen kata-kata semangat.png            Tak terasa hampir setahun aku telah melewati masa santri baru. Dengan “tragedi” yang telah aku alami pada masa tes, tentu saja membuatku tidak lulus masuk jurusan IAI. Dan aku harus memutuskan apakah aku pindah jurusan tanpa tes dan langsung masuk kelas 1 MA atau masuk kelas isti’dad (kelas persiapan) dulu selama 1 tahun agar bisa masuk jurusan IAI tanpa tes tahun depan ? Setelah aku mengabari bapak dan ibu yang ternyata membuat mereka kaget itu, dengan beberapa pertimbangan akhirnya aku tertantang untuk memilih masuk kelas isti’dad meski dengan konsekuensi yang berat. Adikku, Fitri yang sekarang sudah lulus MTs pun kini melanjutkan ke Pesantren bersamaku. Tentunya adikku akan masuk kelas 1 MA dan aku juga baru mau naik kelas 1 MA. Kemungkinan terburuk dalam anganku adalah aku bisa saja1 kelas dengan adikku, 1 kelas ??? “na’udzubillah.. “
11355062_1609755769285042_2118486525_n.jpg            Didunia ini kita hidup dengan takdir Allah SWT. Segala ketetapannya tak mungkin ada yang mampu menghalangi dan segala kerahasiaannya tak mungkin ada yang mengetahui. Begitulah hidup yang sedetik kedepan pun tak pernah kita ketahui apa yang akan terjadi dan bagaimana melaluinya. Begitupun dengan segurat kekhawatiranku waktu itupun terjadi, tak menyangka sama sekali bahwa adikku bisa lulus tes masuk jurusan IAI, sedang ketika mendaftar ia memilih jurusan lainnya juga dan dia hanya coba-coba ikut tes “siapatau” bisa lulus. Tapi ya mau bagaimana lagi, semua yang terjadi harus diterima dengan ikhlas dan tawakkal. Pada akhirnya kami berdua tak hanya 1 kelas, tapi juga 1 bangku, 1 team, 1 buku panduan dan 1 julukan yaitu “tukang ngantuk”. Karna kami berdua memang sering ketahuan ngantuk dikelas secara bersamaan dan beriringan hingga ber”saut-sautan”. Dan parahnya kami ber 2 selama 3 tahun di MA duduk di bagian paling depan, pas depan meja guru dan terus selalu seperti itu hingga lulus. Kami benar-benar menjadi “pasangan” ngantuk sejati selama Aliyah, meskipun sebelumnya kami ber 2 adalah sepasang “Tom & Jarry” di rumah.
BIODATA
Nama              : Tri Anirotulhikmah
Akun sosmed  : IG @trianirotulhikmah  LINE @anirotulhikmahtri  TWITT @aniHIKMAH 
Email              : anirotulhikmahtri@gmail.com
No Hp             : 085772748620

MEDIA PEMBELAJARAN

Teknik Memercik
alat dan bahan :
-cat air/pewarna makanan
-sikat gigi bekas
-saringan teh
-kerta HVS
-cetakan sesuai bentuk (misal bentuk buah mangga)